Stres merupakan reaksi alami tubuh yang muncul saat menghadapi situasi sulit atau berbahaya. Hal ini dapat berguna untuk memacu seseorang berpikir dan berusaha bagaimana cara mencari jalan keluar. Namun, stres juga memiliki dampak yang buruk. Selain berdampak bagi kesehatan mental dan tubuh, stres ternyata juga memiliki dampak buruk bagi kesehatan gigi dan mulut.

KONDISI YANG MUNGKIN TERJADI PADA GIGI DAN MULUT KETIKA MENGALAMI STRES

Periodontitis

Seperti disebutkan di atas bahwa stres ternyata memicu perilaku oral hygiene yang buruk, hal ini tentu saja menjadi perkembangan berbagai penyakit mulut, seperti periodontitis. Mannem S, et al. melakukan studi cross-sectional untuk mengevaluasi stres melalui kadar kortisol saliva terhadap periodontitis. Penelitian ini melibatkan sebanyak 111 pasien berusia lebih dari 40 tahun. Kelompok usia ini dipilih karena pasien di atas 40 tahun telah banyak mengalami peristiwa kehidupan yang negatif, seperti masalah keuangan, beban yang berat di tempat kerja, kematian orang dekat, perceraian, penyakit pribadi, atau pensiun. 

Seluruh pasien dilakukan pemeriksaan klinis dan penilaian tingkat stres melalui kuesioner. Hasilnya menemukan adanya kadar kortisol saliva yang tinggi secara terus-menerus dalam waktu yang lama pada pasien yang mengalami stres. Tingginya kadar kortisol saliva menyebabkan inflamasi yang cukup lama dan mendalam, sehingga menyebabkan periodontitis. Secara keseluruhan penelitian ini menyimpulkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara rata-rata kadar kortisol (hormon stres) dan periodontitis.

Apthous stomatitis

Stres memungkinkan terjadinya ulkus aftosa berulang. Onset ulkus ini dikaitkan dengan peningkatan kadar kortisol saliva atau spesies oksigen reaktif dalam saliva. Selain itu, stres juga dapat memicu tindakan menggigit pipi atau bibir, serta tindakan lain yang menyebabkan cedera pada mukosa mulut. 

Gallo Cde B, et al. melakukan penelitian untuk mengevaluasi tingkat stres terhadap stomatitis aftosa berulang pada mahasiswi kedokteran gigi di Arab Saudi. Penelitian ini melibatkan sebanyak 50 peserta yang terdiri dari 25 peserta dengan stomatitis aftosa (kelompok uji) dan 25 peserta tanpa stomatitis aftosa (kelompok kontrol). Kemudian, dilakukan pemeriksaan, wawancara, dan penilaian menggunakan skala Hospital Anxiety and Depression (HADS) untuk mengetahui hubungan antara stomatitis aftosa dengan stres. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 14% dari total peserta mengalami stomatitis aftosa dan sebanyak 70% mengkorelasikan timbulnya ulkus tersebut dengan faktor spesifik tertentu dimana stres menjadi agen penyebab utama (91%).

 Pada skala HADS, sebanyak 88% peserta mengalami kecemasan dan 65% mengalami depresi. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa stres berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh hingga memungkinkan terjadinya stomatitis aftosa berulang. Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa stres dapat memicu terjadinya stomatitis aftosa. 

Glossopyrosis

Glossopyrosis atau yang juga dikenal dengan Burning Mouth Syndrome (BMS) merupakan suatu kondisi munculnya sensasi terbakar pada bagian ujung dan samping lidah, bibir, palatum, atau di dalam seluruh rongga mulut. Umumnya, wanita lebih berisiko terkena glossopyrosis dibandingkan pria. Stres berlebih dipercaya dapat memicu terjadinya kondisi ini, selain itu merokok dan konsumsi alkohol juga dapat memperburuk glossopyrosis. 

Rezazadeh F, et al. dalam studinya mengevaluasi hubungan stres dengan glossopyrosis. Penelitian ini melibatkan sebanyak 28 peserta yang dibagi sama rata menjadi dua kelompok, yaitu kelompok uji (pasien dengan glossopyrosis) dan kelompok kontrol (pasien tanpa glossopyrosis). Seluruh peserta diminta mengisi kuesioner untuk mengevaluasi tingkat stres dan munculnya kondisi glossopyrosis. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan stres yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok uji dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian ini juga menemukan bahwa peserta dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (di atas diploma) cenderung memiliki ketidakstabilan psikologis yang juga lebih tinggi, termasuk lebih mudah mengalami stres. 

Secara keseluruhan, penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan psikologis berperan penting dalam mengatur sensasi nyeri, meningkatkan atau menurunkan neurotransmisi reseptor nyeri perifer, dan menurunkan ambang nyeri seseorang untuk menerima stimulus normal sebagai rangsangan yang menyakitkan, sehingga dapat dikatakan bahwa stres memiliki hubungan dengan glossopyrosis. 

Referensi:

  1. Grover S. 6 ways stress affects your teeth and gums. Psychology Today. 2019. [cited 15 February 2022]. Available from: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/when-kids-call-the-shots/201903/6-ways-stress-affects-your-teeth-and-gums.
  2. Vasiliou A, Shankardass K, Nisenbaum R, Quiñonez C. Current stress and poor oral health. BMC Oral Health. 2016;16(1):88. doi:10.1186/s12903-016-0284-y.
  3. Mannem S, Chava VK. The effect of stress on periodontitis: a clinicobiochemical study. J Indian Soc Periodontol. 2012; 16(3): 365-369. doi:10.4103/0972-124X.100912.
  4. Gallo Cde B, Mimura MA, Sugaya NN. Psychological stress and recurrent aphthous stomatitis. Clinics (Sao Paulo). 2009; 64(7): 645-648. doi:10.1590/S1807-59322009000700007.
  5. Rezazadeh F, Farahmand F, Hosseinpour H, et al. The association between emotional stress, sleep disturbance, depression, and burning mouth syndrome. Biomed Res Int. 2021. doi:10.1155/2021/5555316.
  6. Mottaghi A, Razavi SM, Pozveh EZ, et al. Assessment of the relationship between stress and temporomandibular joint disorder in female students before university entrance exam (Konkour exam). Dent Res J (Isfahan). 2011; 8(Suppl 1): S76-S79.
  7. Vedolin G, Lobato V, Conti P, Lauris J. The impact of stress and anxiety on the pressure pain threshold of myofascial pain patients. J Oral Rehabil. 2009; 36: 313–21.

Sumber artikel: https://app.docquity.com/#/clinical/detail/7744

Comments
* The email will not be published on the website.